MAJALAHREFORMASI.com – Isu yang mengaitkan kebijakan standardisasi kemasan rokok dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal kembali mencuat. Menanggapi hal ini, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menegaskan bahwa anggapan tersebut keliru dan menyesatkan.
Standardisasi kemasan, yang diinisiasi Kementerian Kesehatan, bertujuan mengurangi daya tarik rokok terhadap anak dan remaja. Dengan menghilangkan logo, warna, dan citra merek, kemasan dibuat polos disertai peringatan kesehatan bergambar yang menonjol.
“Desain kemasan bukan pemicu rokok ilegal. Negara seperti Australia, Inggris, dan Prancis sudah lebih dulu menerapkannya tanpa lonjakan peredaran rokok ilegal,” jelas Manik Marganamahendra, Ketua IYCTC. Bahkan, data menunjukkan penurunan penawaran rokok ilegal di Inggris serta stabilitas pasar di Australia pasca kebijakan diterapkan.
IYCTC juga merespons video dari seorang tokoh publik muda yang menyatakan kekhawatiran soal dampak kebijakan ini. “Kami apresiasi komitmennya untuk tidak merokok di depan kamera, tapi penting untuk meluruskan narasi yang bisa menyesatkan publik,” tambah Manik.
Menurutnya, meningkatnya rokok ilegal lebih dipengaruhi faktor struktural seperti lemahnya pengawasan, distribusi tak terkendali, serta celah di rantai pasok. Temuan CISDI menunjukkan prevalensi rokok ilegal lebih tinggi di kota-kota pelabuhan seperti Surabaya (20,6%) dan Makassar (21,4%), bukan semata karena harga atau kemasan.
Ni Made Shellasih, Program Manager IYCTC, juga mengkritisi narasi ekonomi yang sering dijadikan tameng oleh industri. “Kontribusi sektor tembakau tidak sebanding dengan dampak kesehatannya. Biaya pengobatan penyakit akibat rokok pada 2019 mencapai Rp17,9–27,7 triliun, hampir menyamai 92% defisit JKN tahun itu,” ujarnya.
IYCTC mendorong pemerintah dan publik untuk fokus pada penguatan pengawasan, penindakan terhadap produsen ilegal, dan implementasi sistem pelacakan menyeluruh (track and trace). Kebijakan standardisasi kemasan harus tetap dijalankan sebagai bagian dari perlindungan kesehatan publik dan keberlanjutan jaminan sosial.
“Pemda juga perlu memaksimalkan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) untuk pengawasan dan edukasi agar kebijakan ini tidak hanya menjadi dokumen di atas kertas,” tutup Shella. ***









