MAJALAHREFORMASI.com – Sebuah karya terbaru dari penulis dan sutradara peraih 2 Piala Citra untuk Sutradara Terbaik FFI Mouly Surya, “Perang Kota” akan tayang mulai 30 April 2025 di seluruh bioskop Indonesia! Film persembahan Cinesurya Starvision, dan Kaninga Pictures dari adaptasi “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis ini akan menghadirkan kisah cinta segitiga di tengah kekacauan perang di kota Jakarta pada tahun 1946. Mempertaruhkan cinta dan perjuangan yang diselimuti pengkhianatan.
Mouly Surya akan membawa penonton ke mesin waktu saat Jakarta kembali diinvasi oleh Belanda pada 1946, di tengah kekacauan kota yang mulai ditinggalkan oleh warga dan pemimpinnya. Ada perjuangan gerilya dari para anak muda yang mempertaruhkan nyawa dan harga dirinya agar bangsa Indonesia yang baru saja merdeka tak lagi jatuh ke tangan penjajah.
“Perang Kota” menyajikan interpretasi kontemporer untuk memaknai nuansa vintage Jakarta dengan lanskap bangunan tuanya namun dipenuhi oleh karakter-karakter yang dinamis dengan gaya busananya yang modis. Jakarta era ‘40-an ditampilkan dengan kontras penuh warna dan kota yang muram, menunjukkan suasana kota yang penuh gejolak di tengah peperangan.
Setahun setelah Indonesia merdeka, Jakarta menjadi medan perang antara pejuang kemerdekaan dan tentara Sekutu yang ditunggangi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Razia, penangkapan, penembakan, hingga bakar-bakaran.
Situasi begitu mencekam, sampai-sampai ibukota pindah darurat ke Yogyakarta. Perang terjadi di tengah kota. Pertempuran kecil di mana-mana jadi pemandangan sehari-hari. Banyak keluarga kehilangan anggota keluarga mereka, sementara hidup harus tetap berjalan. Ekonomi hancur, bahan makanan susah didapat, harga melambung tinggi.
Di tengah semua itu, Isa (Chicco Jerikho) berjuang untuk keseharian di kota yang terus berperang, Fatimah (Ariel Tatum) bertahan dari perang batinnya, dan Hazil (Jerome Kurnia) bersikeras dengan semangat perjuangannya. Ketiga karakter utama ini menampilkan intrik yang tak hanya berkelindan di antara kekacauan kota, namun juga batin yang berkecamuk.
“Isa di film ini memiliki spektrum yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan yang ada di bukunya. Mouly memberikan multi-dimensi untuk karakter Isa yang harus saya refleksikan di dalam film. Ia sosok yang flamboyan, pejuang, tetapi juga
punya perjuangannya sendiri di rumah tangganya bersama Fatimah. Dengan sisi tragisnya yang tak ada ujungnya,” kata Chicco Jerikho.
“Di bukunya, Fatimah adalah ibu rumah tangga yang berselingkuh dengan Hazil, teman seperjuangan suaminya, Hazil. Namun Mouly memberikan sedikit transformasi di filmnya. Fatimah membawa persona sosok perempuan yang tangguh dan mewakili perempuan pada masanya. Fatimah adalah sosok yang kuat, dan keras. Masa 1940-an tentu bukan masa yang mudah bagi perempuan, dan saya bangga Mouly menerjemahkan Fatimah sebagai sosok perempuan yang memiliki daya resiliensi tangguh di tengah perang yang berkecamuk,” ucap Ariel Tatum. (*)









