Membentuk Kesejahteraan Sosial (Social Welfare) Kawasan Danau Toba Berbasis Geopark Dengan Pendekatan Triple Bottom Line Sustainable Development

Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl.Ec., M.Si
Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia / Penggiat Lingkungan
 

Abstrak

MAJALAHREFORMASI.com – Kawasan Danau Toba, sebagai geopark nasional, memiliki potensi strategis dalam mendukung pembentukan kesejahteraan sosial (social welfare) yang berkelanjutan melalui integrasi aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi. Namun, aktivitas industri kayu, pembalakan hutan lindung ilegal, serta praktik perikanan yang tidak lestari telah menyebabkan kerusakan lingkungan signifikan, memicu bencana banjir, longsor, dan kebakaran hutan yang rutin terjadi setiap tahun. Tulisan ini mengkaji penerapan pendekatan triple bottom line—People, Planet, dan Profit—dengan model additive dan multiplicative process untuk memperkuat fungsi sosial kawasan. Selain itu, mengidentifikasi tantangan dari peran pemerintah yang kurang optimal dalam penanggulangan permasalahan tersebut. Analisis area kritis, akar masalah, isu evaluasi publik, serta strategi solusi dan aksi nyata disusun secara sistematis. Hasil studi menunjukkan bahwa pendekatan multiplicative process memberikan solusi lebih efektif dan sinergis dalam pengelolaan Kawasan Danau Toba berbasis geopark guna mencapai kesejahteraan sosial yang berkelanjutan. Kajian ini diharapkan menjadi acuan bagi pemangku kebijakan dan stakeholder untuk mengoptimalkan pembangunan kawasan Danau Toba dengan prinsip triple bottom line.

Kata kunci: Danau Toba, Geopark, Kesejahteraan Sosial, Pembangunan Berkelanjutan, Triple Bottom Line, Multiplicative Process, Kerusakan Lingkungan, Banjir, Kebakaran Hutan.

  1. Pendahuluan

Danau Toba merupakan geopark unggulan di Indonesia yang menyimpan nilai geologi, keanekaragaman hayati, dan budaya yang tinggi. Kawasan ini menjadi pusat kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat lokal, sehingga keberlanjutan pembangunan sangat krusial. Pendekatan pembangunan berkelanjutan triple bottom line, yang mengintegrasikan aspek sosial (People), lingkungan (Planet), dan ekonomi (Profit), menjadi strategi efektif untuk membentuk kesejahteraan sosial di kawasan ini.

Namun, kawasan Danau Toba menghadapi tantangan serius akibat kerusakan lingkungan yang dipicu aktivitas industri kayu, pembalakan liar hutan lindung, dan praktik perikanan yang tidak lestari. Kerusakan hutan lindung menurunkan kapasitas ekosistem dalam menyerap air, menyebabkan bencana banjir dan longsor berulang setiap tahun. Kebakaran hutan dan lahan juga rutin terjadi, memperburuk kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Penanggulangan pemerintah masih kurang optimal dengan kelemahan pengawasan dan koordinasi antar lembaga, sehingga solusi masih bersifat parsial. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan pengelolaan yang sistematis dan terintegrasi untuk mengatasi persoalan ini sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat.

  1. Pendekatan Proses: Additive vs Multiplicative Process

Pengelolaan kawasan Danau Toba membutuhkan metode yang mampu mengatasi keterkaitan erat antar aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi. Dua pendekatan utama adalah:

  • Additive Process

Pendekatan ini menangani masalah secara bertahap dan terpisah, misalnya memperbaiki infrastruktur terlebih dahulu, kemudian aspek lingkungan, dan terakhir kesejahteraan sosial. Meski mudah diimplementasikan, pendekatan ini kurang mampu menciptakan efek sinergis antar dimensi.

  • Multiplicative Process

Pendekatan integratif yang memperbaiki berbagai aspek secara simultan dan saling memperkuat. Contohnya pelatihan kewirausahaan disertai konservasi lingkungan dan peningkatan kualitas sosial sekaligus, menghasilkan dampak lebih luas dan berkelanjutan.

Rekomendasi: Pendekatan multiplicative process lebih tepat diterapkan di kawasan Danau Toba guna mencapai kesejahteraan sosial yang komprehensif dan berkelanjutan, terutama dalam menghadapi persoalan kompleks yang saling terkait seperti kerusakan lingkungan dan dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat.

  1. Identifikasi Area Kritis dan Akar Masalah

3.1 Area Kritis

  • Kerusakan lingkungan:

Kerusakan parah akibat industri kayu dan pembalakan hutan lindung ilegal yang mengurangi fungsi ekologis hutan sebagai penyangga air dan habitat keanekaragaman hayati. Bencana banjir dan longsor berulang serta kebakaran hutan rutin terjadi. Limbah industri kayu dan perikanan yang tidak terkelola mencemari perairan Danau Toba, menurunkan kualitas ekosistem.

  • Kesejahteraan sosial rendah:

Kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan dan layanan kesehatan, serta rusaknya sumber penghidupan masyarakat seperti nelayan dan petani.

  • Keterbatasan ekonomi:

Dominasi sektor informal, minimnya lapangan kerja formal, dan kurangnya diversifikasi ekonomi membuat masyarakat rentan terhadap guncangan sosial dan ekonomi.

  • Manajemen kawasan belum optimal:

Koordinasi antar pemangku kepentingan lemah, kurang transparansi, serta peran pemerintah yang belum penuh dalam pengawasan dan penanggulangan masalah lingkungan dan sosial.

3.2 Akar Masalah

  • Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap pembalakan liar dan industri kayu.
  • Rendahnya partisipasi masyarakat dan pelaku usaha dalam pelestarian lingkungan.
  • Infrastruktur sosial dan ekonomi yang tidak merata dan belum memadai untuk mitigasi bencana.
  • Regulasi dan implementasi kebijakan lingkungan dan sosial yang lemah dan tidak konsisten.
  • Dampak perubahan iklim memperburuk frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan.
  • Kurangnya koordinasi efektif antar lembaga pemerintah yang menyebabkan penanggulangan masalah bersifat parsial.
  1. Isu Evaluasi Publik
  • Kerusakan hutan lindung dan industri kayu berlebihan memicu bencana alam berulang yang mengancam keselamatan dan mata pencaharian masyarakat.
  • Kebakaran hutan rutin menimbulkan keresahan dan kerugian ekonomi serta kesehatan masyarakat.
  • Pengelolaan limbah industri kayu dan perikanan yang belum efektif menyebabkan pencemaran lingkungan dan penurunan kualitas sumber daya alam.
  • Ketergantungan ekonomi pada sektor informal dan pariwisata massal yang rentan krisis eksternal seperti pandemi.
  • Pemerintah belum hadir secara penuh dan efektif dalam pengawasan dan penanggulangan masalah lingkungan dan sosial, sehingga masyarakat merasa kurang mendapat perlindungan dan dukungan.
  1. Strategi dan Solusi Penanggulangan

5.1 Penguatan Fungsi Sosial Berbasis Geopark

  • Pelaksanaan program edukasi dan pelatihan berkelanjutan mengenai konservasi, pengelolaan wisata berkelanjutan, dan kewirausahaan lokal.
  • Pemberdayaan komunitas melalui pengembangan UMKM, pertanian organik, dan ekowisata berbasis kearifan lokal.
  • Mendorong keterlibatan multi-stakeholder dalam pengelolaan kawasan, meliputi masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta.

5.2 Perlindungan Lingkungan (Planet)

  • Penguatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pembalakan liar dan industri kayu.
  • Implementasi sistem pemantauan kebakaran hutan berbasis teknologi dan pelibatan masyarakat lokal.
  • Program restorasi hutan lindung untuk memperbaiki fungsi hidrologis dan ekologi kawasan.
  • Pengelolaan limbah industri kayu dan perikanan secara ketat dan berkelanjutan.
  • Pengembangan ekowisata ramah lingkungan yang mendukung konservasi.

5.3 Peningkatan Ekonomi (Profit)

  • Diversifikasi ekonomi lokal melalui pengembangan produk bernilai tambah.
  • Pemanfaatan teknologi digital untuk pemasaran wisata dan produk lokal.
  • Investasi infrastruktur sosial dan ekonomi berkelanjutan yang mendukung kesejahteraan masyarakat.

5.4 Implementasi Multiplicative Process

  • Merancang program yang saling memperkuat, seperti pelatihan pengelolaan limbah yang beriringan dengan pelatihan kewirausahaan dan konservasi.
  • Membangun insentif bagi komunitas yang berhasil menjaga lingkungan sekaligus meningkatkan pendapatan.
  • Mengintegrasikan mitigasi bencana alam dengan pemberdayaan sosial dan ekonomi.
  1. Aksi Nyata yang Dapat Dilaksanakan
  • Pembentukan Forum Komunikasi Geopark Danau Toba sebagai wadah integrasi pemangku kepentingan untuk koordinasi dan kolaborasi pengelolaan kawasan.
  • Penyelenggaraan workshop dan pelatihan berkelanjutan bagi masyarakat dan pengelola kawasan, termasuk mitigasi bencana dan konservasi.
  • Pembangunan fasilitas pengelolaan sampah terpadu dan sistem pengolahan limbah sederhana di kawasan.
  • Pengembangan produk wisata dan budaya berbasis komunitas dengan dukungan pemasaran digital.
  • Pengawasan dan evaluasi transparan serta berkala oleh tim independen untuk memastikan efektivitas program.
  • Penguatan kehadiran pemerintah melalui pembentukan satuan tugas khusus pengelolaan hutan dan bencana dengan peningkatan patroli dan penegakan hukum.
  • Pelibatan aktif masyarakat dalam pengawasan dan pencegahan pembalakan liar serta kebakaran hutan melalui insentif dan program pemberdayaan.
  1. Data dan Sumber Pendukung
  • UNESCO Global Geoparks sebagai acuan standar pengelolaan geopark.
  • Data resmi Badan Geologi Indonesia dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terkait status dan program Danau Toba.
  • Informasi sosial ekonomi dan lingkungan dari Bappenas dan Kementerian Lingkungan Hidup.
  • Studi akademis seperti Simarmata et al. (2020) dan Wibowo et al. (2019).
  • Laporan CSR perusahaan lokal serta survei dan data lapangan dari komunitas setempat.
  1. Kesimpulan

Pembentukan kesejahteraan sosial di Kawasan Danau Toba berbasis geopark harus menempatkan perlindungan lingkungan sebagai prioritas utama mengingat dampak besar dari industri kayu, pembalakan liar, dan praktik perikanan tidak lestari yang telah memicu bencana alam berulang seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan. Pendekatan triple bottom line sustainable development yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi dengan model multiplicative process secara simultan dan sinergis menjadi strategi utama dalam mengatasi area kritis dan akar masalah yang ada. Keterlibatan multi-stakeholder dan implementasi aksi nyata yang berkelanjutan diharapkan mampu memulihkan dan mengembangkan Kawasan Danau Toba secara optimal menuju kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.***

 

banner 336x280