Oleh: Dr. Wilmar Eliaser Simandjorang, Dipl._Ec., M.Si
Penggiat Lingkungan / Ketua Pusat Studi Geopark Indonesia (PS-GI)
Abstrak
MAJALAHREFORMASI.com – Toba Caldera yang telah menjadi bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp) sejak 2020 kini berada dalam posisi genting menyusul pemberian “kartu kuning” oleh UNESCO pada Mei 2024. Tenggat waktu dua tahun diberikan untuk memenuhi empat rekomendasi kritikal yang mencerminkan dimensi holistik pengelolaan geopark: interpretasi geologi, pelestarian budaya dan alam, visibilitas serta jejaring.
Artikel ini menganalisis sejauh mana kesiapan aktual Geopark Toba untuk memperoleh kembali “Green Card” berdasarkan pengamatan hingga pertengahan 2025.
Hasil kajian menunjukkan ketimpangan signifikan antara laporan administratif dan realita di lapangan, lemahnya tata kelola kelembagaan, serta kurangnya implementasi nyata atas rekomendasi UNESCO. Oleh karena itu, diperlukan reformasi struktural dan paradigma dalam pengelolaan geopark, jika Indonesia serius mempertahankan status UGGp.
Kata Kunci: Geopark Toba, UNESCO Global Geopark, kartu kuning, revalidasi, konservasi, tata kelola lingkungan, partisipasi masyarakat
1. Pendahuluan
Sejak ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark (UGGp) pada tahun 2020, Toba Caldera menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan status tersebut (UNESCO, 2020). Teguran dalam bentuk “kartu kuning” yang diberikan pada 28 Mei 2024 (UNESCO, 2024) menjadi peringatan keras bagi para pemangku kepentingan, disertai dengan kewajiban untuk menuntaskan empat rekomendasi utama dalam kurun dua tahun, menjadi peringatan keras bagi para pemangku kepentingan. Dengan jadwal revalidasi yang akan dilaksanakan pada Juli 2025, pertanyaan kunci yang muncul adalah: apakah Toba Caldera sudah siap secara substansi dan bukan sekadar administratif untuk meraih kembali “Green Card”?
2. Problematika Struktural yang Kronis
Evaluasi dari UNESCO sejak 2015 hingga 2023 menunjukkan pola kegagalan yang berulang (Setiawan & Hidayat, 2022). Hal ini mengindikasikan lemahnya integrasi antarinstansi dan political will yang rendah (Simandjorang, 2021).
Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan tata kelola yang sistemik, lemahnya integrasi lintas sektor, serta ketiadaan kemauan politik yang kuat untuk menjadikan geopark sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan. Reaktivasi Badan Pengelola (BP) TCUGGp pada awal 2025, setelah dua tahun vakum, menambah keraguan terhadap keseriusan pengelolaan
3. Empat Rekomendasi Kunci UNESCO (2024–2025)
UNESCO menetapkan empat pilar utama yang harus dibenahi:
a. Warisan Geologi dan Interpretasi
- Ketiadaan panel interpretatif ilmiah di sebagian besar geosite.
- Narasi geologi masih lemah dan tidak sistematis.
b. Warisan Alam, Budaya, dan Takbenda
Warisan budaya lokal belum menjadi bagian integral dalam narasi geopark.
Identitas budaya dan dokumentasi takbenda masih minim.
c. Visibilitas dan Kemitraan
Branding lemah; situs web tidak informatif dan tidak tersedia dalam bahasa Inggris yang memadai.
Media sosial pasif, dan panel informasi tidak sesuai standar.
d. Jaringan dan Pelatihan
Minim keterlibatan dalam forum geopark internasional (GGN/APGN).
Tidak ada program pelatihan yang terstruktur dan terdokumentasi untuk pengelola maupun masyarakat.
4. Kinerja Lapangan: Antara Retorika dan Kenyataan
Berdasarkan observasi lapangan hingga Juni 2025, berbagai kelemahan tampak mencolok:
a. Manajemen dan Koordinasi Kelembagaan
Kelembagaan antar tingkat pemerintah masih bersifat seremonial dan tidak sistemik.
BP TCUGGp belum menunjukkan roadmap implementatif dan dukungan anggaran masih terbatas.
b. Interpretasi Geologi dan Edukasi
UNESCO menekankan pentingnya narasi geologi yang kuat dan panel interpretatif sebagai alat edukasi masyarakat luas dan wisatawan (UNESCO, 2017; Reynard et al., 2009).
Dari 16 geosite yang diamati, mayoritas tidak memenuhi standar interpretasi UNESCO.
Upaya edukatif masih terbatas, tanpa kajian kebutuhan pelatihan (Training Needs Assessment).
c. Branding dan Digitalisasi
Dana sebesar Rp56,6 miliar belum menunjukkan hasil nyata.
Website dan media sosial belum menjadi alat edukasi dan promosi efektif.
d. Jejaring dan Kapasitas SDM
Tidak ada transparansi dalam pelatihan: siapa, kapan, dan apa hasilnya.
Minim inisiatif untuk memperluas kolaborasi lintas negara atau lembaga.
5. Ketimpangan “On Paper” vs. “On Site”
Laporan revalidasi yang disubmit pada Februari 2025 tidak mencerminkan kemajuan nyata di lapangan. Dokumen administratif sering kali tidak mencerminkan kondisi objektif di geosite. Pemerintah daerah lebih fokus pada proses dan retorika dibandingkan dengan capaian substantif. Tujuh kepala daerah di kawasan Danau Toba tidak tampil dengan data yang menguatkan kesiapan masing-masing wilayahnya.
6. Isu Krusial yang Terabaikan
a. Isu Lingkungan
Penurunan kualitas air Danau Toba telah dilaporkan oleh berbagai lembaga sebagai dampak akumulatif dari pencemaran, limbah domestik, serta alih fungsi lahan (KLHK, 2023; LIPI, 2020). Kondisi ekologi di beberapa geosite seperti Pusuk Buhit, Haranggaol, dan Tele menunjukkan kerusakan serius akibat kebakaran, pencemaran, dan penebangan liar. Namun, belum ada intervensi signifikan dari pihak berwenang.
b. Pemberdayaan Masyarakat
Konsep geopark menekankan keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam konservasi, pendidikan, dan ekonomi berbasis geowisata (Hose, 2012; Dowling, 2013). Prinsip “celebrating Earth heritage, sustaining local communities” menjadi inti dari geopark global (UNESCO, 2021).
Keterlibatan masyarakat lokal masih bersifat tokenistik. UNESCO menekankan prinsip “Memuliakan Bumi dan Mensejahterakan Rakyat”, yang belum terwujud dalam strategi maupun aksi nyata.
c. Tumpang Tindih Tugas dan FungsiKebingungan antara peran Dinas Pariwisata, BP TCUGGp, dan lembaga lainnya memperlihatkan ketiadaan koordinasi fungsional. Beberapa kegiatan seperti penanaman pohon dan edukasi massal tidak berbasis pada kebutuhan riil dan kompetensi kelembagaan.
7. Kesimpulan: Belum Layak Meraih Green Card
Dari tinjauan objektif dan evaluasi lapangan, dapat disimpulkan bahwa Toba Caldera UNESCO Global Geopark belum layak memperoleh kembali Green Card pada tahun 2025.Beberapa alasan utama:
- Implementasi rekomendasi UNESCO masih jauh dari tuntas.
- Terlalu banyak janji, terlalu sedikit bukti nyata.
- Struktur kelembagaan lemah, edukasi tidak berdampak, branding tidak berkembang.
- Isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat tidak menjadi prioritas.
8. Penutup: Saatnya Reformasi Nyata, Bukan Sekadar Jamuan Asesor
Green Card bukanlah hasil dari lobi, pencitraan, atau persiapan administratif semata, melainkan refleksi dari tata kelola yang berkelanjutan, berdampak, dan partisipatif. Pemerintah dan pemangku kepentingan diharapkan berhenti memandang geopark sebagai proyek event-based, dan mulai menatanya sebagai sistem ekologi, sosial, dan ekonomi yang saling terhubung dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
UNESCO. (2017). Operational Guidelines for UNESCO Global Geoparks. Paris: UNESCO.
UNESCO. (2020). Toba Caldera designated as UNESCO Global Geopark. Retrieved from https://en.unesco.org/global-geoparks/toba-caldera
UNESCO. (2021). Celebrating Earth Heritage, Sustaining Local Communities. Global Geoparks Network. Retrieved from https://www.globalgeoparksnetwork.org
UNESCO. (2024). Revalidation Mission Report for Toba Caldera UGGp (Internal Report, Division of Ecological and Earth Sciences).
Hose, T. A. (2012). 3G’s for modern geotourism. Geoheritage, 4, 7–24. https://doi.org/10.1007/s12371-011-0052-y
Dowling, R. K. (2013). Global Geotourism – An Emerging Form of Sustainable Tourism. Czech Journal of Tourism, 2(2), 59–79.
Reynard, E., et al. (2009). Geosites and Geomorphosites: From Inventory to Sustainable Management. Geoheritage, 1, 65–75.
Setiawan, A. & Hidayat, S. (2022). Evaluasi Kelembagaan Geopark Toba: Antara Sertifikasi dan Tata Kelola. Jurnal Tata Kelola dan Kebijakan Publik, 11(1), 45–60.
Simandjorang, W. E. (2021). Geopark sebagai Alat Transformasi Ekologi dan Ekonomi Lokal. Medan: Pusat Studi Geopark Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2023). Status Mutu Air Danau Toba 2022. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.
LIPI. (2020). Kajian Kualitas Lingkungan Danau Toba dan Strategi Restorasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Catatan Tambahan
- Jika jurnal ini ditujukan untuk pengajuan ke jurnal ilmiah, bisa disesuaikan format referensinya dengan gaya APA, MLA, atau Chicago sesuai permintaan jurnal tujuan.
- Beberapa referensi (misalnya dokumen internal UNESCO tahun 2024) bisa digantikan dengan kutipan sekunder atau pernyataan wawancara jika Anda menggunakannya secara naratif.