MAJALAHREFORMASI.com – Kabar penolakan pendirian gereja oleh forum RT di Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya, mengejutkan banyak pihak. Namun bagi Eva Belisima, public figure sekaligus pengusaha kelapa sawit yang juga penduduk asli Kalimantan Barat, kabar ini tak sekadar mengejutkan melainkan menghancurkan hatinya.
“Penolakan gereja itu terjadi di Desa Kapur, tidak jauh dari rumah saya. Jujur, hati saya hancur. Kalimantan Barat selama ini dikenal penuh keharmonisan dan toleransi,” ungkap Eva dengan mata berkaca-kaca.
Dikenal sebagai sosok anggun, cerdas, dan lulusan S2 dari Universitas Mercu Buana Jakarta, Eva tak hanya bicara sebagai selebriti, tapi sebagai warga asli yang mencintai tanah kelahirannya.
Hidup Berdampingan yang Selalu Harmonis
Sebagai pengusaha dan warga yang aktif bersosial, Eva mengenal betul kehidupan masyarakat Kalimantan Barat.
“Selama ini, kita hidup berdampingan secara luar biasa. Rumah ibadah di sini bahkan berdampingan, berderet. Saat hari raya, kita saling silaturahmi. Kalau ada yang butuh bantuan, kita bahu-membahu, tanpa melihat agama,” jelasnya.
Baginya, Kalimantan bukan sekadar rumah Kalimantan adalah lambang kebersamaan. Maka ketika penolakan itu terjadi dan menjadi viral, ia mengaku kecewa dan merasa ini bukan lagi potret asli daerahnya.
“Ini bukan wajah Kalimantan. Ini bukan wajah kami,” tegas Eva.
Jangan Beri Ruang Intoleransi
Mantan istri komedian Kiwil ini juga menyampaikan apresiasi mendalam kepada Bupati Kubu Raya Sujiwo, serta jajaran pemerintah provinsi Kalbar, yang dengan tegas menolak segala bentuk tindakan intoleran.
“Saya salut, Pak Bupati dan Gubernur bersikap tegas. Mereka menunjukkan bahwa Kalbar tidak memberi ruang bagi intoleransi,” ujarnya penuh bangga.
Eva mengajak masyarakat untuk tidak diam. Ia mengingatkan pentingnya menjaga nilai-nilai toleransi yang sudah menjadi identitas Kalbar, terlebih setelah kota seperti Singkawang berturut-turut dinobatkan sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia.
Toleransi Itu Harga Mati
Sebagai figur publik, Eva Belisima merasa bertanggung jawab untuk terus menyuarakan pesan damai dan persatuan, terutama di tengah isu-isu yang memecah belah.
“Toleransi itu harga mati. Hargai perbedaan, berikan kebebasan beragama, dan jangan mudah terprovokasi isu-isu miring,” pesannya.
Ia juga menambahkan, “Kita tidak perlu seragam untuk bisa seirama. Perbedaan bukan ancaman, justru itulah harmoni yang indah.
“Ayo cintai perbedaan. Jadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan pemisah. Kalbar terlalu indah untuk ternoda oleh kebencian. Kita saling melengkapi, saling mengasihi. Itulah wajah sejati Kalimantan.”****