MAJALAHREFORMASI.com – Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa kemacetan di Jakarta seolah tak pernah usai, bahkan di tengah malam? Fenomena ini, menurut Dr. John Palinggi, bukan sekadar hasil dari volume kendaraan yang tinggi atau sistem transportasi yang belum memadai, tetapi mengindikasikan adanya “tangan tersembunyi” yang ikut andil dalam menciptakan dan mempertahankan kemacetan ibu kota.
Kondisi ini jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang bertujuan untuk menciptakan sistem lalu lintas yang aman, tertib, efisien, dan nyaman. Undang-undang tersebut dirancang untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pengelolaan transportasi yang optimal. Namun, kenyataan yang terjadi di Jakarta justru sebaliknya: kemacetan semakin menjadi masalah kronis yang menghambat aktivitas masyarakat.
Sebagai seorang pengusaha, praktisi lingkungan, serta Ketua Harian Badan Interaksi Sosial Masyarakat (BISMA), Dr. John juga dikenal sebagai mediator, pelobi, dan negosiator yang diakui oleh Mahkamah Agung RI (Akreditasi MA RI No. 43 Tahun 2004). Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Dewan Analisis Strategis BIN pada tahun 1997 dan menjadi Tenaga Ahli Pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Pengalaman ini membuat pandangannya terhadap isu kemacetan memiliki bobot tersendiri.
“Kemacetan di Jakarta bukan sekadar akibat volume kendaraan yang tinggi, tetapi juga ada indikasi tangan tersembunyi yang ikut mempertahankannya,” ungkap John. Ia menyoroti bahwa situasi ini bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang dirancang untuk menciptakan lalu lintas yang aman, tertib, efisien, dan nyaman. “Tujuan undang-undang ini adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Jakarta terjebak dalam kemacetan yang semakin parah,” tambahnya.
Fenomena Kemacetan yang Membebani Psikologis dan Ekonomi
John memberikan gambaran konkret mengenai dampak kemacetan di Jakarta. “Jika Anda bepergian setelah pukul 7 pagi, kendaraan hampir tidak bergerak. Kawasan seperti Thamrin dan Sudirman, misalnya, sudah tidak bisa dilewati lagi,” jelasnya. Bahkan di malam hari, kemacetan terus mendominasi jalanan, memaksa warga Jakarta terjebak berjam-jam di perjalanan.
Dampak psikologisnya juga sangat signifikan. “Kemacetan membuat warga Jakarta mudah marah karena tekanan mental yang dialami setiap hari,” tegasnya. Ia menambahkan, kondisi ini mengurangi produktivitas masyarakat karena banyak pekerja tiba di kantor dalam keadaan lelah dan emosional. “Negara membutuhkan masyarakat yang produktif untuk membangun perekonomian, tetapi kemacetan justru menjadi beban yang tidak menghasilkan keuntungan apa pun.”
Indikasi Kepentingan Tersembunyi
Lebih jauh lagi, John mengkritik kebijakan-kebijakan transportasi yang ia nilai kontraproduktif, seperti penyempitan jalan dan pelebaran trotoar di sejumlah kawasan tanpa kajian mendalam. “Alih-alih mengurai kemacetan, kebijakan seperti ini justru memperburuk kondisi jalan. Ada pertanyaan besar yang harus dijawab: apa motif di balik kebijakan ini?” ujarnya.
Ia menduga adanya kepentingan tersembunyi di balik sejumlah kebijakan yang justru memperparah kemacetan. “Proyek-proyek infrastruktur yang tidak berpihak kepada masyarakat kecil atau yang terkesan dilakukan hanya demi keuntungan segelintir pihak adalah salah satu penyebab utama,” tegasnya.
Solusi untuk Mengurai Kemacetan
Untuk itu, solusi yang lebih efektif adalah dengan mengurangi penjualan kendaraan roda empat dan roda dua dengan harga murah, serta menaikkan pajak kendaraan hingga 50%. Pendekatan ini memberi tanggung jawab lebih kepada mereka yang memiliki lebih banyak mobil. Pajak yang berkeadilan akan mendorong orang kaya untuk berkontribusi lebih besar pada infrastruktur dan kesejahteraan bersama.
Dengan langkah-langkah tersebut, menurutnya dapat menciptakan sistem lalu lintas yang lebih efisien, di mana angkutan umum menjadi pilihan utama, dan dampak lingkungan serta kemacetan dapat dikendalikan.
Namun, lagi-lagi John mengarisbawahi solusi ini harus dibarengi dengan pengaturan yang lebih ketat terhadap penjualan kendaraan roda empat dan roda dua, termasuk penghapusan promosi down payment (DP) rendah yang mendorong masyarakat membeli kendaraan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kemacetan.
Menutup dengan Optimisme
Dengan pengalaman luas dan wawasan mendalam, John percaya bahwa kemacetan Jakarta dapat diatasi jika pemerintah menjalankan kebijakan yang lebih bijaksana dan berorientasi pada kesejahteraan umum. “Jika kita mengikuti amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 dengan benar dan memanfaatkan teknologi yang ada, sistem lalu lintas yang lebih efisien dan lancar dapat terwujud,” tutupnya. (David)