MAJALAHREFORMASI.com -Ditengah tantangan besar yang dihadapi dunia pendidikan nasional, Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia (MPK) menyampaikan suara penting yang mewakili jutaan anak bangsa yang belajar di sekolah swasta. Dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi X DPR RI belum lama ini, MPK mengangkat dua persoalan krusial yang selama ini membelit sekolah-sekolah swasta. Pendistribusian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang belum berkeadilan, serta ketimpangan jumlah guru bersertifikasi.
Ketua Umum MPK, Handi Irawan, secara lugas menjelaskan bahwa meskipun pemerintah telah menganggarkan dana BOS sebesar Rp53,5 triliun pada tahun 2025 bagian dari total anggaran pendidikan yang mencapai Rp724 triliun ketimpangan dalam pendistribusiannya masih menjadi batu sandungan utama, terutama bagi sekolah swasta di daerah terpencil.
"Bila kita lihat komposisi anggaran yang mungkin disetujui oleh Komisi X DPR mencapai Rp59 triliun, itu merupakan angka yang sangat besar. Namun kenyataannya, sekolah-sekolah swasta di kota kecil dan wilayah tertinggal tidak menikmati pembagian dana yang adil," ungkap Handi.
Salah satu akar persoalan, menurut MPK, adalah penggunaan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan paritas daya beli sebagai acuan pembagian dana BOS. Dalam praktiknya, selisih antara sekolah di kota besar seperti Surabaya dan daerah terpencil seperti Nias atau Mentawai hanya dua kali lipat. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan perbedaan biaya operasional jauh lebih tinggi.
Di sisi lain, SPP di daerah-daerah tersebut hanya berkisar Rp50.000 hingga Rp100.000 per bulan. "Jika BOS tidak berkeadilan, sekolah-sekolah swasta di daerah terpencil akan terus defisit, kehilangan hak hidupnya. Jika sekolah swasta tutup, negara akan terbebani karena harus membangun sekolah negeri yang biayanya bisa mencapai Rp10 juta per anak per tahun," tambah Handi.
Isu kedua yang disorot MPK adalah rendahnya jumlah guru swasta yang telah bersertifikasi. Saat ini, hanya 31% guru swasta yang tersertifikasi, jauh tertinggal dibanding guru di sekolah negeri yang sudah mencapai 52%.
Pertanyaan mendasar pun kembali diajukan: Apakah sekolah swasta dianggap mitra atau pesaing oleh pemerintah? "Sering kali kami mendengar dari Kementerian Pendidikan bahwa sekolah swasta adalah mitra. Tapi kebijakan yang diterapkan justru memperlakukan kami seperti pesaing," tegasnya.
Padahal, peran sekolah swasta sangat krusial dalam mendukung sistem pendidikan nasional. Swasta, termasuk lembaga-lembaga Kristen yang tergabung dalam MPK, selama ini telah mengeluarkan dana sendiri bahkan hingga puluhan miliar rupiah untuk mensubsidi operasional sekolah. Ini secara langsung mengurangi beban negara.
Handi pun mengingatkan, jika kontribusi swasta terus dikecilkan, maka target nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa akan terhambat. "Saat ini, kontribusi sektor pendidikan terhadap PDB nasional baru sekitar 3%. Padahal negara-negara maju seperti Amerika, Korea, dan Singapura sudah menempatkan belanja pendidikan di atas 6% dari PDB mereka. Tanpa peran aktif swasta, mustahil kita bisa melampaui angka 4%," jelasnya.
MPK berharap Komisi X DPR dapat melihat urgensi ini dan mendorong kebijakan yang lebih adil. Rapat dengar pendapat ini bukan sekadar forum seremonial, tapi menjadi suara nyata dari ribuan sekolah swasta yang selama ini tetap bertahan, menjadi cahaya pendidikan di pelosok negeri — dan kini, tengah berjuang untuk tetap hidup.
"Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Dan kami, sekolah swasta, adalah mitra yang setia dalam perjuangan ini," tutup Handi Irawan. (David)