Logo Selasa, 22 April 2025
images

MAJALAHREFORMASI.com - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 1 tahun penjara kepada Profesor Marthen Napang (MN) yang juga merupakan Guru Besar  Fakultas Hukum Unhas, terdakwa dalam kasus penipuan dan pemalsuan. Ketua Majelis Hakim, Buyung Dwikora, menyatakan bahwa Marthen Napang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.

"Menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun," ujar Hakim Buyung Dwikora dalam sidang yang digelar pada Rabu (12/3).

Majelis hakim mempertimbangkan sejumlah faktor dalam menjatuhkan vonis. Hal-hal
memberatkan menurut hakim adalah perbuatan terdakwa menyebabkan kerugian bagi korban, John Palinggi, serta merusak kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung (MA). Selain itu, sebagai seorang dosen yang seharusnya menjadi teladan, Marthen Napang tetap melakukan tindakan tersebut meskipun memiliki pemahaman yang mendalam tentang hukum.

Namun, terdapat pula faktor yang merinagkan terdakwa antara lain usianya yang sudah lanjut, statusnya sebagai akademisi dengan tanggung jawab, belum pernah terjerat hukum, serta kepatuhannya selama menjalani tahanan kota.

Moh. Iqbal, kuasa hukum John Palinggi, menyatakan bahwa jaksa penuntut umum telah melakukan penuntutan dengan membuktikan kasus ini berdasarkan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, dengan tuntutan hukuman 4 tahun penjara.

"Sebagai korban, kami tidak dapat menerima pertimbangan majelis hakim tersebut. Alasannya, jika niat penggunaan bukti palsu berupa empat putusan yang diberikan oleh terdakwa saat ia datang ke kantor John Palinggi telah terbukti, maka di situlah terjadi penggunaan bukti palsu. Dokumen yang dipalsukan adalah surat Mahkamah Agung, salah satunya Putusan Nomor 219, yang secara langsung dikirim terdakwa melalui emailnya ke email John Palinggi, selaku korban," ujar Moh. Iqbal.

Namun, hakim justru memutuskan bahwa yang terbukti adalah Pasal 378 KUHP tentang penipuan. "Bukankah ini masuk dalam kategori di mana korban sedang memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk melindungi martabat Mahkamah Agung (MA)? Sebab, pemalsuan surat putusan MA ini sudah terurai secara jelas dalam proses hukum," tambahnya.

Sementara itu, John Palinggi menegaskan bahwa ia tidak ingin terlalu panjang lebar menanggapi kasus ini, namun tetap menghormati putusan hakim.

"Kalau saya pikirkan, saya sudah lebih dari tujuh tahun berjuang dalam kasus ini. Saya tidak pernah berpikir uang saya yang ditipu sebesar Rp950 juta akan kembali, karena ini adalah kasus pidana. Saya adalah Ketua Asosiasi Mediator Indonesia yang dibentuk oleh Mahkamah Agung RI, serta mediator non-hakim di seluruh pengadilan di Jakarta," ujar John Palinggi.

Lebih lanjut, ia menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan hukum yang diambil.

"Apa yang saya dengar tadi adalah sebuah bentuk penipuan. Saya tidak pernah berpikir uang saya akan kembali, dan saya tidak akan mati karena itu. Tetapi saya bisa mati dan menyesali hidup di bangsa ini jika pemalsuan surat MA ini tidak memperoleh tanggapan serius. Saya sangat menyesalkan hal ini, karena saya berjuang untuk menjaga marwah MA, lalu mengapa pihak lain tidak bisa melakukan hal yang sama? Mengapa justru kasus penipuan yang diungkap, bukan pemalsuan dokumen MA?"

John Palinggi juga menyoroti visi Presiden Prabowo yang berkomitmen membangun bangsa dan negara berdasarkan supremasi hukum.

"Presiden Prabowo telah berjuang dengan keringat dan darah untuk menegakkan hukum di negeri ini. Polisi dan jaksa telah menjalankan tugasnya dengan baik, tetapi jika masih ada oknum yang mencabik-cabik martabat MA, saya sungguh prihatin dan menyesalkan hal itu. Saya hanya berjuang agar Mahkamah Agung dihormati, bukan karena uang, tetapi karena semua warga negara harus menjunjung tinggi putusan MA. Jika putusan itu dipalsukan dan tidak ada yang peduli, bagaimana kita bisa berbicara tentang keadilan?" pungkasnya. (*)