Logo Jumat, 29 Maret 2024
images

(Ilustrasi)

“Kalau yang untuk beli sembako ya beli sembako, jangan ada yang digunakan untuk beli rokok. Hati-hati nih yang bapak-bapak terutama. Jangan dipakai untuk beli rokok, belikan sembako sehingga bisa mengurangi beban keluarga di saat masa pandemi ini.”
– Joko Widodo, dalam Peluncuran Bantuan Tunai se-Indonesia tahun 2021-

JAKARTA, MAJALAHREFORMASI.com– Presiden Joko Widodo telah meluncurkan dana bantuan sosial tunai se-Indonesia. Dalam peluncuran bantuan sosial tersebut, Bapak Presiden serta Menteri Sosial, Ibu Tri Rismaharini mengatakan kepada penerima agar tidak menggunakan bantuan sosial tunai untuk membeli rokok. Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) mendukung arahan Pemerintah tersebut demi peningkatan kualitas manusia, jangan sampai justru dimanfaatkan untuk beli rokok sehingga mengancam balik peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 melaporkan bahwa jumlah perokok aktif usia 15 tahun ke atas mencapai 33,8 persen dari populasi Indonesia. Selain itu, prevalensi perokok di kalangan remaja 10-18 tahun mengalami peningkatan dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Lebih lanjut, data Susenas 2016 dan 2017 menunjukkan prevalensi merokok kelompok berpendapatan rendah meningkat lebih cepat dibandingkan dengan pendapatan yang lebih tinggi. Perilaku merokok pada keluarga Indonesia yang tinggi menjadi tantangan tersendiri dalam pencapaian sumber daya manusia yang berkualitas untuk masa depan negeri kita.

Secara konseptual, bantuan sosial (bansos) akan meningkatkan pendapatan rumah tangga sehingga kebutuhan sehari-hari dapat lebih tercukupi. Namun, peningkatan konsumsi tersebut tidak terkecuali untuk barang non-essensial seperti rokok. Tambahan pendapatan dari bantuan sosial dapat digunakan untuk membiayai konsumsi rokok. Hal ini dibuktikan dengan studi PKJS-UI yang menunjukkan penerima bantuan sosial berkorelasi positif dengan perilaku merokok, dengan efek tertinggi terjadi pada penerima Program Keluarga Harapan (PKH).

PKH yang didistribusikan secara tunai meningkatkan pendapatan rumah tangga secara langsung sehingga rumah tangga dapat menggunakannya untuk membeli rokok. Penerima bansos memiliki kecenderungan merokok lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan penerima bansos. Penerima PKH memiliki peluang 11 persen poin lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PKH. Pola ini konsisten untuk masing-masing kategori bantuan sosial, kelompok pendapatan, dan data Susenas 2016.

Data panel Indonesian Family Life Survey (IFLS) menunjukkan bahwa penerima bansos memiliki peluang lebih besar menjadi perokok jika dibandingkan bukan penerima bansos. Penerima Program Indonesia Pintar (PIP) memiliki peluang 9 persen poin lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PIP. Penerima bansos memiliki konsumsi rokok (nilai dan kuantitas) yang lebih besar dibandingkan bukan penerima bansos. Penerima Program Keluarga Harapan (PKH) memiliki pengeluaran rokok Rp3.660/kapita per minggu dan 3,5 batang/kapita per minggu lebih tinggi jika dibandingkan dengan bukan penerima PKH.

Kecenderungan merokok dalam keluarga penerima bansos melakukan substitusi pengeluaran nutrisi, pendidikan dan kesehatan sebagai berikut:

1. Penerima bantuan sosial yang keluarganya merokok memiliki konsumsi kalori, protein, lemak dan karbohidrat yang jauh lebih rendah dibandingkan keluarga penerima bantuan sosial tetapi tidak merokok.
2. Penerima bantuan sosial yang keluarganya merokok memiliki anak (3. Penerima bantuan sosial dan perokok memiliki anak (

“Kami juga memiliki studi kualitatif kepada informan, yaitu istri penerima bantuan sosial yang mengakui jika pengeluaran untuk rokok juga berdampak pada kebutuhan harian. Jika dibandingkan kebutuhan untuk belanja bahan makanan, belanja rokok hampir setengahnya. Salah satu informan menyebutkan, meski sedang mengalami kesulitan ekonomi, suaminya enggan memberikan uang untuk membeli telur karena ada kebutuhan rokok yang harus dipenuhi. Informan lain menyebutkan ketika mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan harian, ia lebih memilih berhutang ke orang lain daripada meminta uang jatah rokok suami. Ketika perekonomian sedang sulit, salah satu informan mengatakan bahwa suami tetap merokok.” Jelas Ir. Aryana Satrya, M.M, Ph.D, Ketua PKJS-UI.

Efek adiksi yang ditimbulkan dari rokok sendiri membuat keluarga miskin sulit berhenti merokok meski dalam kondisi ekonomi yang sulit. Perilaku merokok keluarga penerima bantuan sosial juga berdampak pada kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar keluarga penerima bantuan sosial mengonsumsi bahan makanan pokok seadanya yang menurut mereka murah. Hal ini tentu saja akan berakibat pada asupan nutrisi keluarga. Perilaku shifting konsumsi tersebut menjadi faktor besar yang berkontribusi terhadap anak mengalami stunting. Hal ini tentu akan menjadi ancaman untuk generasi mendatang, juga menjadi beban keluarga terutama pada masa pandemi COVID-19.

Perilaku merokok dari penerima bansos mengurangi efektivitas program-program bantuan sosial untuk mencapai target dari program tersebut. Hal ini dapat disebabkan harga rokok yang masih relatif terjangkau bagi masyarakat miskin. Kenaikan harga rokok melalui mekanisme kenaikan cukai hasil tembakau dan harga jual eceran sangat diperlukan untuk menjauhkan keterjangkauan kelompok rentan, termasuk anak dan remaja, dari pembelian rokok. Selain itu, simplifikasi layer cukai hasil tembakau juga harus dilakukan. Pengendalian konsumsi akan sulit terjadi jika pilihan harga rokok di pasar masih bervariasi akibat layer cukai yang berlapis. Konsumen rokok bisa berpindah ke golongan harga yang lebih rendah karena tarif cukainya yang lebih kecil.

“Kami sangat mendukung ketegasan Pemerintah dengan melarang bantuan sosial dibelikan untuk rokok. Selain itu, pengendalian konsumsi rokok melalui kenaikan harga rokok yang signifikan dapat membuat program bantuan sosial yang dimiliki Pemerintah akan lebih efektif, sesuai target, dan dapat menyelamatkan generasi mendatang untuk setiap anak yang kita jauhkan dari rokok.” tutup Aryana. (*)