MAJALAHREFORMASI.com - Sejumlah organisasi kesehatan dan pakar komunikasi menyuarakan keprihatinan terhadap maraknya upaya normalisasi penggunaan rokok elektronik di Indonesia melalui klaim-klaim menyesatkan yang tidak didukung bukti ilmiah independen. Mereka menegaskan bahwa narasi keliru semacam ini berisiko meningkatkan penggunaan rokok elektronik, terutama di kalangan anak dan remaja—kelompok yang seharusnya mendapat perlindungan maksimal.
Kritik tajam disampaikan oleh Prof. Dr. Eni Maryani, M.Si., Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Ia menyoroti narasi yang dibangun oleh sejumlah lembaga seperti Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR), Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), dan Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR), yang kerap mengklaim adanya manfaat kesehatan dari rokok elektronik tanpa dukungan bukti ilmiah yang komprehensif dan independen.
"Klaim semacam ini sangat berbahaya karena dapat mengaburkan persepsi publik mengenai risiko rokok elektronik. Banyak bukti ilmiah independen justru menunjukkan bahwa rokok elektronik tetap membawa risiko kesehatan serius. Kesimpulan terburu-buru dalam isu kesehatan publik seperti ini sangat berbahaya," tegas Prof. Eni.
Dari sisi medis, Dr. dr. Feni Fitriani Taufik, Sp.P(K), M.Pd.Ked., dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), mengingatkan bahwa penggunaan rokok elektronik tidak bebas dari bahaya. Paparan bahan kimia berbahaya dalam aerosol rokok elektronik dapat menyebabkan gangguan paru seperti bronchiolitis obliterans (popcorn lung), penurunan fungsi paru, serta meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular.
Dr. Feni juga menyoroti klaim bahwa rokok elektronik dapat membantu berhenti merokok. Berdasarkan penelitian terbaru dari Johns Hopkins University yang dirilis pada April 2025, hanya 0,08% pengguna yang berhasil berhenti sepenuhnya dari semua produk tembakau dengan bantuan rokok elektronik—angka yang dinilainya sangat kecil. Sementara itu, sebagian besar pengguna baru adalah anak muda, dan 77,8% di antaranya belum pernah menggunakan produk tembakau sebelumnya.
"Bahaya rokok elektronik jauh lebih besar daripada potensi manfaatnya bagi generasi muda Indonesia," tegasnya.
Senada, Benget Saragih, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kementerian Kesehatan RI, menegaskan bahwa rokok elektronik dan produk tembakau yang dipanaskan tidak dianggap sebagai solusi untuk berhenti merokok.
“Fokus utama kami adalah pada pencegahan dan penghentian total penggunaan semua produk tembakau, bukan pada substitusi antar produk yang tetap berisiko,” ujar Benget.
Mohammad Ainul Maruf, Sekretaris Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), menambahkan bahwa industri rokok terus berupaya membentuk opini publik bahwa produk mereka lebih aman.
"Kita harus waspada terhadap manipulasi narasi yang digerakkan oleh industri demi kepentingan komersial. Proses kebijakan publik harus bebas dari pengaruh korporasi yang hanya mengejar keuntungan," tegasnya.
Sejalan dengan temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rokok elektronik mengandung zat berbahaya seperti nikotin, logam berat, dan senyawa karsinogenik. WHO juga memperingatkan bahwa produk ini dapat menjadi pintu masuk bagi remaja untuk kemudian beralih ke rokok konvensional.
Organisasi kesehatan dan masyarakat sipil menyerukan penerapan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam setiap kebijakan yang menyangkut produk tembakau alternatif. Mereka mendesak agar Indonesia tidak terjebak dalam narasi industri, dan tetap berkomitmen melindungi generasi mudanya.
"Generasi Emas Indonesia 2045 hanya dapat terwujud jika kita membangun manusia Indonesia yang sehat dan bebas dari ketergantungan terhadap nikotin serta zat adiktif lainnya," tutup Maruf. (*)