Logo Senin, 16 Juni 2025
images

Oleh: Dra. Alida Handau Lampe Guyer, M.Si

MAJALAHREFORMASI.com - Mengikuti debat publik yang berkepanjangan, yang HEBOH dan mengharu BIRU di negara Antah Berantah, mengenai keabsahan IJAZAH presiden ke-7, Joko Widodo.

Dari berbagai argumen dan data yang tersuguh NYATA dan TERPAMPANG terang, sebagian kalangan menyimpulkan bahwa IJAZAH JOKOWI dipertanyakan keabsahannya, bahkan dianggap tidak sah alias PALSU oleh sejumlah pihak.

Meski bisa diklaim ASLI dalam tanda "PETIK" karena dikeluarkan oleh perguruan tinggi UGM yang SAH, namun muncul keraguan apabila ijazah tersebut tidak memenuhi syarat akademis yang berlaku normal dan baku. Jurusan Tekhnologi Kayu yang disebut oleh Jokowi sendiri TIDAK pernah tercatat ADA di Fakultas Kehutanan UGM YOGYA.

Jika benar demikian, maka dapat diasumsikan bahwa IJAZAH tersebut diperoleh secara TIDAK BERHAK karena tidak melewati aturan BAKU dan tahap-tahap belajar yang wajar serta normal, sebagaimana DIJALANI oleh setiap MAHASISWA dalam proses memperoleh gelar SARJANA di tingkat perguruan tinggi.

Sebagaimana diketahui, tugas akhir mahasiswa adalah menyusun karya ilmiah (SKRIPSI) dan mempertahankannya di hadapan dewan penguji.

Pak Kasmudjo, yang disebut sebagai dosen pembimbing skripsi di Fakultas Kehutanan UGM, dengan TEGAS dan LUGAS menyatakan bahwa beliau bukan DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI Jokowi.

Menuntut Presiden Jokowi untuk mengaku khilaf, meminta maaf, atau setidaknya memperlihatkan IJAZAH secara terbuka kepada masyarakat, bagi sebagian kalangan dianggap sebagai HAL yang mustahil bin mustahal. Bagi banyak orang, hal tersebut dinilai hanya dapat dilakukan oleh pemimpin yang memiliki kekuatan MORAL dan INTELEKTUAL tinggi serta kerendahan HATI.

Upaya klarifikasi dari pihak UGM untuk mendukung keaslian IJAZAH JOKOWI oleh sebagian kalangan dinilai justru menimbulkan tanda tanya baru. Misalnya, perubahan masa jabatan Dekan Fakultas Kehutanan, Profesor Ahmad Sumitro, agar sesuai dengan tanggal ijazah Jokowi—namun versi bahasa Inggris dokumen lupa diubah. Kesalahan lain mencakup penulisan nama Profesor Ahmad Soemitro yang keliru serta tanda tangan yang berbeda, ditambah dengan fakta bahwa pada saat itu beliau belum menyandang gelar Profesor.

Tidak ada KEJAHATAN yang SEMPURNA. Upaya menutupi satu kebohongan dengan kebohongan lain hanya akan membuka BOROK dan celah KETERJERUMUSAN yang lebih DALAM.

Semakin kuat pembelaan terhadap narasi yang diragukan, semakin KERAS pula perlawanan para pembela KEBENARAN dalam membongkar TOPENG KEPALSUAN.

Para akademisi, guru besar, profesor, doktor, masyarakat awam, dan publik LUAS mulai turun GUNUNG, ikut bersuara menyampaikan bukti-bukti SAHIH, ilmiah, dan sulit untuk TERBANTAHKAN.

Tidak ada alasan rasional bagi institusi pendidikan untuk bertahan dalam narasi yang dipertanyakan, kecuali untuk menutupi KEBOHONGAN, kehilangan HARGA DIRI, rasa MALU, dan untuk melindungi KEUNTUNGAN berupa JABATAN maupun FINANSIAL yang diperoleh dari TRANSAKSI terkait ijazah JOKOWI tersebut.

Masyarakat Indonesia patut mencatat kontribusi pihak-pihak yang berjuang mempertanyakan isu ini, seperti Bambang Tri, Gus Nur, Tim Pembela ULAMA dan AKTIVIS, Roy Suryo, Rismon Sianipar, Dr. Tifa, Rizal Fadillah, TIPU UGM, dan banyak lainnya yang dinilai GIGIH memperjuangkan KEBENARAN.

Satu babak SEJARAH KELAM dari 10 tahun perjalanan bangsa dan negara telah TERTAKDIR di bawah kepemimpinan JOKOWI. NASI telah menjadi BUBUR. Konsekuensi dari pilihan tersebut kini menimbulkan dampak besar: kehilangan HARGA DIRI, rasa MALU, dan KETERPURUKAN yang sulit untuk DIHAPUS dan DILUPAKAN.

Lebih berat lagi adalah HUKUMAN berupa rasa BERDOSA dan tanggung jawab MORAL yang harus ditanggung seumur HIDUP oleh sebagian anak BANGSA yang telah MENDUDUKAN Jokowi sebagai presiden secara EMOSIONAL dan membabi buta, tanpa mempertimbangkan KEJANGGALAN yang menyertai perjalanan karier politik JOKOWI.

Yang HARUS dilakukan ke depannya adalah MENGOREKSI dan MEMPERBAIKI kesalahan besar tersebut serta memastikan agar tidak terulang kembali. Terutama dengan cara MEMPERKETAT persyaratan dalam memilih CALON pemimpin tertinggi PRESIDEN.(*)