MAJALAHREFORMASI.com -Pengamat politik Dr. John Palinggi, MBA, menyambut baik pembentukan Danantara oleh Prabowo Subianto. Ketua Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia (ARDIN) ini menilai langkah tersebut sebagai strategi untuk menciptakan BUMN yang lebih fokus dan efisien dalam mengelola aset bernilai triliunan rupiah.
Menurutnya, pembentukan Danantara mencerminkan upaya mengorganisir seluruh BUMN dalam satu entitas yang lebih terstruktur. Penetapan direksi, komisaris, dan direktur utama menunjukkan kepercayaan penuh presiden terhadap individu yang dipilih untuk mengelolanya. Meski sering dibandingkan dengan Temasek, perusahaan investasi milik Singapura, perjalanan Danantara masih panjang untuk mencapai tingkat yang sama.
Namun, John mengingatkan bahwa kesuksesan Danantara tidak hanya bergantung pada struktur organisasi, tetapi juga pada integritas para pemimpinnya. Kejujuran, menurutnya, adalah fondasi utama dalam bisnis dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Ia menegaskan, "Saya 45 tahun berbisnis tanpa cacat karena kejujuran selalu menjadi pegangan saya." Prinsip ini, katanya, harus menjadi pedoman bagi Danantara agar dapat beroperasi secara profesional dan transparan.
Lebih lanjut, ia menyoroti keberhasilan negara maju seperti Selandia Baru dan Norwegia, yang tidak hanya bertumpu pada kepemimpinan berpengalaman, tetapi juga pada transparansi dalam tata kelola negara dan bisnis. Hal yang sama harus diterapkan di Danantara agar tidak ada aset yang tercecer atau disalahgunakan tanpa kejelasan pengelolaan dan manfaatnya.
Selain itu, John mengingatkan pentingnya keterbukaan dalam pengelolaan keuangan BUMN. Klaim kontribusi BUMN terhadap negara yang mencapai Rp920 triliun perlu diverifikasi agar tidak terjadi manipulasi data. Kejujuran dalam penyampaian informasi bukan hanya soal akuntabilitas, tetapi juga untuk memastikan keberkahan bagi negara.
Karena itu, ia berharap tidak ada pihak yang menciderai tujuan mulia pembentukan Danantara. Meskipun disebutkan bahwa Danantara tidak dapat diaudit kecuali atas usulan DPR, rakyat tetap berhak bersikap kritis. Menurutnya, pengawasan publik justru akan memperkuat transparansi dan akuntabilitas, sehingga aset negara dapat dikelola dengan baik demi kepentingan bersama.
BUMN Masa Lalu
Pada kesempatan itu, John juga menyingung sejarah BUMN di masa lalu. Dahulu, kata mantan Dewan Analisis Strategis BIN ini memulai ceritanya, BUMN merupakan unit usaha yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan negara, seperti Pertamina dan berbagai perusahaan persero lainnya.
Seiring waktu, muncul gagasan untuk memaksimalkan badan usaha milik pemerintah. Pada era Tanri Abeng, diperkenalkan konsep privatisasi dengan tujuan menjadikan BUMN lebih profesional, menguntungkan, dan menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance.
Saat itu, publik tertarik dengan gagasan ini, terlebih ketika diketahui bahwa gaji Tanri Abeng mencapai Rp1,5 miliar. Akibatnya, banyak BUMN yang diprivatisasi, sehingga lahir berbagai perusahaan kontraktor seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, dan lainnya. Selain itu, muncul pula perusahaan tambang dan berbagai sektor usaha lainnya tetap berada dalam naungan BUMN dengan harapan tetap menerapkan tata kelola yang sehat.
Namun dalam kenyataannya, banyak BUMN terus-menerus meminta modal penyertaan dari negara. Pemerintah terus menggelontorkan dana melalui keputusan presiden, termasuk untuk sektor perbankan.
"Uang-uang itu, saya ada datanya, digelontorkan termasuk ke bank. Bahkan Mentri BUMN Rini Suwandi kala itu pergi ke China bawa 3 Direktur Utama Bank untuk tandatangan disana untuk mendapatkan pinjaman Rp34 Trilyun," ucap pengusaha nasional yang mengantongi APEC Business Travel Card di 19 negara di Asia Pasifik ini seraya menyayangkan kejadian tersebut.
Banyak BUMN melakukan pengeluaran tanpa tanggung jawab, yang dibuktikan dengan ditangkapnya sejumlah direktur utama dan pengurus oleh aparat penegak hukum, seperti KPK. Padahal, BUMN konstruksi dibentuk untuk mendukung proyek infrastruktur nasional, namun ironisnya, bahan baku utama seperti semen dan besi justru diimpor dari luar negeri. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai manfaat dan keuntungan yang seharusnya diperoleh negara.
Tak hanya itu, intervensi dari pihak pemberi pinjaman juga menjadi masalah serius. Proyek Strategis Nasional sebagian besar dibiayai melalui pinjaman luar negeri, yang dalam pelaksanaannya kerap mengalami kebocoran, termasuk dalam pengadaan material proyek.
Laba yang Dipertanyakan
Lebih dari itu, ketergantungan BUMN terhadap dana negara masih menjadi permasalahan. mendasar. Hampir semua BUMN, termasuk bank dan PLN, terus mengajukan permintaan penyertaan modal negara, meskipun di satu sisi mereka mengklaim meraih keuntungan besar.
PLN, misalnya, melaporkan laba sebesar Rp26 triliun per tahun, namun di sisi lain, utangnya pernah mencapai Rp613 triliun. Hal serupa terjadi pada Maskapai Garuda Indonesia, yang mengumumkan keuntungan Rp17 triliun, padahal utangnya hampir menyentuh Rp100 triliun. Ketidaksesuaian angka-angka ini menimbulkan kebingungan dan patut dipertanyakan kebenarannya.
"Mereka mengklaim meraih keuntungan Rp26 triliun per tahun, sementara utangnya pernah nyatakan mencapai Rp613 triliun. Bagaimana ini?" ungkapnya dengan nada penuh keheranan.
John juga mengemukakan alasannnya membeberkan fakta ini semata-mata hanya ingin agar pembentukan Danantara diawasi dengan ketat. Presiden sudah memiliki niat yang mulia untuk memperbaiki BUMN agar lebih sehat dan mendekati model Temasek di Singapura. Namun, jika tidak dikelola dengan hati-hati, niat baik ini dapat tercederai oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, dirinya meminta wartawan dan masyarakat terus mengawasi. Penyertaan modal negara harus dipertanggungjawabkan, dengan pencatatan yang jelas mengenai jumlah utang BUMN dan kemana aliran dana yang digunakan.
Dia dengan tegas menekankan jika dirinya tidak memiliki kepentingan pribadi, hanya ingin memberikan masukan sebagai warga negara. "Saya bukan seperti orang-orang yang suka mencela tanpa kontribusi, saya hanya ingin membantu agar Danantara dikelola dengan hati yang bersih dan tujuan yang mulia," kata John kepada wartawan saat ditemui di kantornya.
Beban Masa lalu Harus Diungkap
Presiden Prabowo memiliki visi luar biasa untuk memperbaiki kondisi BUMN. Namun, beban masa lalu tetap harus diungkap, setidaknya kepada presiden, agar ia mengetahui secara pasti berapa modal negara yang telah disalurkan dan bagaimana penggunaannya.
Ketua Harian Badan Interaksi Sosial Masyarakat (BISMA) ini kembali menjelaskan bahwa sikapnya bukanlah bentuk pesimisme, melainkan dukungan terhadap kebijakan presiden. "Saya bukan seperti orang-orang yang suka mencela namun masih kesulitan membeli beras dirumah, saya hanya ingin membantu agar Danantara dikelola dengan hati yang bersih. Jagalah hatimu karena dari situlah terpancar kehidupan."
Ia juga menghimbau agar jangan sampai pembentukan Danantara malah menjadi ajang mencari keuntungan pribadi dan merugikan negara. Dia percaya jika dikelola dengan baik, Danantara bisa menjadi entitas yang kuat dan sehat, sepanjang para pemimpinnya belajar dari kesalahan masa lalu dan tidak mengulanginya.
Menurutnya, segala kebijakan presiden pasti memiliki niat baik, suci, dan mulia. Oleh karena itu, semua pihak harus memberi kesempatan kepada orang-orang yang dipercaya untuk mengelola Danantara agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Jangan sampai seperti pemerintahan Prabowo yang baru berjalan sebentar, sudah dihujani kritik yang tidak membangun.
Dukungan dari seluruh rakyat Indonesia sangat penting apalagi dalam kondisi keuangan negara yang sedang sulit ini. Namun dengan langkah-langkah yang komprehensif dan positif, ia yakin presiden dapat Mewujudkan tujuan yang diharapkan, demi kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat. (David)