MAJALAHREFORMASI.com - Pengamat Politik dan pengusaha Nasional Dr John Palinggi, MBA menjelaskan bahwa belum ada aturan apapun tentang kewajiban seratus hari pertama suatu pemerintahan setelah mereka terpilih. Menurutnya, ekspektasi terhadap seratus hari pertama pemerintahan lebih merupakan harapan masyarakat agar roda pemerintahan bergerak lebih cepat dan efektif.
Namun, John menegaskan bahwa mengelola negara bukanlah hal yang sederhana seperti mengurus lingkungan RT/RW. Setiap presiden, termasuk Prabowo Subianto, menghadapi tantangan, hambatan, dan pergumulan yang kompleks dalam menjalankan roda pemerintahan.
"Jadi bukan gampang, namun akibat dari persepsi itulah yang sampai di masyarakat seolah-olah Prabowo Subianto belum memiliki kinerja bagus padahal baru 3,5 bulan memimpin," ujar orang nomor satu di Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia (Ardin) ini saat ditemui wartawan di kantornya di bilangan Menteng Jakarta Pusat.
Sejatinya, evaluasi kinerja pemerintahan idealnya dilakukan paling tidak mulai bulan ke-6 hingga ke-9, khususnya terhadap program-program skala prioritas yang telah dicanangkan.
Hal yang sama berlaku untuk efisiensi anggaran yang diterapkan oleh Presiden Prabowo Subianto di beberapa kementerian dan lembaga pemerintahan. Menurut Dr. John Palinggi, MBA, langkah tersebut merupakan hal yang wajar dan sah, mengingat negara-negara maju seperti Amerika Serikat juga menerapkan kebijakan serupa dalam pengelolaan anggaran mereka.
"Efesiensi adalah hal positif , negara maju seperti Amerika saja melakukan itu dan sebetulnya anggaran nya kan sudah ditetap kan sebelumnya yakni tahun 2024 terhadap 46 kementerian. RAPBN yang saya baca itu sudah ditetapkan," terangnya.
Rangkaian Permasalahan Indonesia
John mengungkapkan bahwa kondisi Indonesia saat ini dapat diibaratkan sebagai sebuah kapal yang sarat dengan berbagai muatan, salah satunya adalah utang yang terlalu besar. Beban cicilan, baik pokok maupun bunga, semakin berat hingga berisiko mengalami keterlambatan pembayaran.
Selain itu, permasalahan pencurian uang negara masih menjadi beban hingga saat ini. John menceritakan kembali kasus tahun 1998 lalu, di mana terjadi kredit macet sebesar Rp450 triliun. Dari jumlah tersebut, hanya Rp139 triliun yang berhasil diselamatkan melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sementara sisanya, Rp311 triliun, hilang tanpa jejak.
Ironisnya, para pengusaha kerap mengeluhkan kurangnya fasilitas dan dukungan, namun jika ditelusuri lebih dalam, kehilangan Rp311 triliun ini justru melibatkan para pengusaha itu sendiri.
Pada tahun 1999, ketika perekonomian dalam kondisi stagnan, pemerintah memberikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp145,5 triliun kepada bank-bank untuk membayar nasabahnya. Namun, alih-alih digunakan sesuai tujuan, dana tersebut justru dialihkan untuk membeli dolar, ketika itu nilai tukar rupiah melonjak dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per dolar AS. Akibatnya, Rp115,5 triliun dari dana BLBI kembali hilang.
Berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021-2022, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa beban negara akibat BLBI ini masih akan terasa hingga tahun 2043.
Selanjutnya masih kental dalam ingatan kita ketika ekonomi mengalami stagnasi pada tahun 1999-2000, pemerintah kembali menggelontorkan dana melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebesar Rp650 triliun kepada 26 bank. Ironisnya, hingga kini tidak ada satu pun bank yang mengembalikan dana tersebut. Hal ini menjadi awal dari gangguan besar dalam keuangan negara, menyebabkan jika ditotal Rp1.000 triliun lenyap.
Lebih parah lagi, bank-bank yang menerima dana tersebut tidak pernah mencatat bahwa mereka mendapat bantuan dari negara. Bahkan, ada kasus di mana sebuah bank yang memperoleh Rp54 triliun dari KLBI justru dijual hanya seharga Rp5,3 triliun, yang semakin menunjukkan betapa seriusnya kebocoran keuangan negara.
Termasuk dalam sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah, di mana e-Katalog yang selama ini menjadi kebanggaan justru menyimpan permasalahan tersendiri. Secara konsep, e-Katalog merupakan sistem yang baik, namun perlu dipahami bahwa Bappenas saat itu langsung melakukan perubahan terhadap sistem ini setelah ditemukan fakta oleh Kepala Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah bahwa terjadi dugaan pencurian atau korupsi senilai Rp260 triliun. Bahkan, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah menyatakan bahwa total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp210 triliun.
Artinya, Presiden Prabowo tidak dapat langsung menangani semua permasalahan secara serempak, terutama dalam sektor pengadaan barang yang selama ini rawan penyimpangan. "Ini seperti ladang subur bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan uang negara," kata pengusaha yang mengantongi APEC Business Travel Card tersebut.
Hutang Luar Negri
John juga merasa heran dan tidak habis pikir mengapa total pinjaman luar negeri Indonesia tidak pernah secara transparan diumumkan. Ia mempertanyakan berapa sebenarnya jumlah utang luar negeri Indonesia dan kepada negara mana saja yang menjadi pemberi pinjaman tersebut.
Bukan hanya itu, ia juga menyoroti keberadaan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) serta Surat Berharga Nasional yang diterbitkan oleh Mentri Keuangan, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari utang negara.
Lebih lanjut, John menjelaskan bahwa terdapat dua jenis utang: pinjaman resmi dan tidak resmi. Salah satu contoh yang ia soroti adalah pinjaman yang dilakukan oleh sektor swasta ke luar negeri, yang kemudian mendapatkan persetujuan (approval) dari pemerintah sehingga menjadi tanggung jawab negara.
Misalnya, dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), ketika sebuah proyek meminjam dana dari luar negeri, pada akhirnya beban tanggung jawab tersebut jatuh kepada pemerintah.
"Masih banyak hal yang harus dijelaskan secara transparan kepada publik," tegasnya.
Kesalahan Masa lalu
Kesalahan masa lalu dalam kebijakan Otonomi Daerah juga turut menggerus keuangan negara. Banyak daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat kecil, misalnya hanya Rp50 miliar, tetapi membutuhkan anggaran hingga Rp500 miliar untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan mereka. Akibatnya, dana dari pemerintah pusat terus tergerus oleh mekanisme transfer ke daerah, yang pada akhirnya membebani keuangan negara secara keseluruhan.
Selain itu, kebiasaan lama di Kementerian Keuangan dan Bappenas dalam hal pinjaman luar negeri juga menjadi persoalan serius. Setiap kementerian selalu mengajukan pinjaman tanpa perhitungan yang matang, dan anehnya, Direktur Jenderal di Kementerian Keuangan sering kali langsung menyetujuinya tanpa kajian mendalam. Bahkan, ada kasus di mana sebuah kementerian diberikan Rp700 triliun hanya untuk proyek foto satelit, yang menimbulkan tanda tanya besar terkait efektivitas dan urgensi penggunaannya.
"Juga kalau anda melihat di depan gedung kantor saya ada proyek Strategis nasional yang sudah 4 bulan apa yang dikerjakan? Padahal anggarannnya Rp1Trilyun, korupsi kebohongan dibalut rasa tidak setia kepada presiden inilah masalah besar negara ini," imbuhnya.
"Makanya saya sangat setuju fungsikan kembali TNI di berbagai lini untuk merevitalisasi kembali kondisi ke arah normal secara bertahap," lanjutnya.
Menanggapi Pernyataan Bambang Brodjonegoro
John menilai hingga saat ini masih perlu ada penjelasan lebih lanjut terkait pernyataan Bambang Brodjonegoro yang baru-baru ini mengungkapkan bahwa ada "kegelapan" yang tengah meliputi dunia dan tidak mungkin akan meliputi Indonesia juga.
"Saya sangat menyesalkan pernyataan tersebut. Mengapa Pak Bambang Brodjonegoro, yang pernah membuat perjanjian dengan China pada tahun 2014, kini justru berbicara tentang 'kegelapan' yang meliputi Indonesia? Dalam perjanjian yang disusun dalam tiga bahasa kala itu, disebutkan bahwa seluruh pembiayaan infrastruktur nasional akan ditanggung oleh China dari 2014 hingga 2024. Hal ini sebenarnya bukanlah masalah, tetapi seharusnya tidak kemudian dikatakan bahwa Indonesia berada dalam kegelapan," ungkapnya.
Dia juga menyayangkan banyaknya pembantu presiden yang justru menciptakan konflik di antara mereka sendiri. "Saya melihat ini sebagai salah satu strategi untuk melemahkan presiden dan menciptakan instabilitas di negara," ujarnya.
Selain itu, ia menyesalkan adanya kementerian yang bertindak di luar tugasnya, seolah-olah masih memiliki kewenangan di bidang yang bukan tanggung jawabnya, bahkan sampai mengancam rakyat. "Saya berharap Presiden segera menghentikan menteri-menteri yang mencampuri urusan di luar tugasnya. Jika berkaitan dengan ekonomi, serahkan kepada Menko Perekonomian atau Menteri Keuangan, tidak perlu pihak lain ikut campur," tegasnya.
Sebagai contoh, ia menyinggung kasus yang baru-baru ini viral terkait pagar laut. Menurutnya, persoalan ini seharusnya diserahkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Jika ada aspek hukum yang perlu ditindaklanjuti, maka hal itu menjadi ranah kepolisian dan kejaksaan, bukan kementerian lain yang tidak berwenang.
Bahkan, muncul isu yang sengaja dihembuskan mengenai lonjakan angka pengangguran yang begitu besar hingga membuat orang ingin pindah ke luar negeri. John menilai bahwa pernyataan semacam ini dibuat dengan tujuan menghambat program pemerintahan yang sedang berjalan. Menurutnya, jika memang ada persoalan, mekanismenya jelas: disalurkan melalui DPR atau, jika menyangkut aspek hukum, diserahkan kepada aparat penegak hukum.
Terkait pengurangan anggaran sebesar Rp306,7 triliun, ia menegaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk lebih mengarahkan anggaran kepada Program Strategis Nasional. Selain itu, efisiensi ini dimaksudkan agar pemerintah lebih memahami cara mengelola anggaran secara optimal demi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, anggaran yang tidak perlu sebaiknya dihapus.
John juga heran mengapa keputusan ini menimbulkan kehebohan seolah-olah Presiden telah gagal. Bahkan, ada pihak yang mencaci maki hingga Prabowo menegaskan bahwa ada "raja-raja kecil" yang merasa terganggu. "Saya melihat reaksi berlebihan ini bukan karena kepentingan rakyat, melainkan karena kepentingan pribadi mereka yang terganggu," ujarnya.
Pergeseran Negatif Kaum Akademisi
Di negara kita, katanya, terjadi banyak pergeseran negatif, terutama di kalangan akademisi. Seharusnya, para dosen di kampus bertugas mengajar dan membimbing mahasiswa agar memiliki akhlak serta moral yang baik, sehingga pola pikir mereka berkembang dengan maju. Namun, yang terjadi justru sebaliknya ada dosen yang berstatus ASN, digaji oleh pemerintah, tetapi malah sibuk mencaci maki Prabowo di media sosial dan televisi, seolah-olah dirinya paling pintar.
"Saya ingin mengingatkan mereka, silakan memilih apakah ingin tetap menjadi dosen ASN yang dibayar oleh pemerintah, atau ingin menjadi pengamat yang kerjanya hanya mencaci maki presiden dari luar? Jangan berlindung di balik status dosen sementara Anda sendiri mencederai Pak Prabowo Subianto," tegasnya.
Ia juga melihat fenomena di mana banyak orang merasa dirinya pintar, padahal ketika diperiksa lebih jauh, mereka tidak memiliki pekerjaan tetap dan bahkan kesulitan menghasilkan uang untuk sekadar membeli beras. Akibatnya, kejahatan yang muncul bukan sekadar kriminalitas biasa, tetapi kejahatan intelektual yang berbahaya.
Seharusnya, sebagai warga negara, memiliki loyalitas, rasa hormat, dan dukungan terhadap Presiden. Memberikan kritik dan saran yang konstruktif tentu diperbolehkan, tetapi jika saran tersebut diterima, kita bersyukur, jika tidak, itu adalah hak penuh Presiden jangan memaksakan kehendak.
"Jangan menawarkan pakaian kepada orang lain sementara diri sendiri masih telanjang," ujarnya menyindir mereka yang gemar mengkritik dan menciptakan kehebohan, padahal dirinya sendiri dipenuhi dengan kebusukan.
John juga memuji kelihaian Prabowo dalam menerapkan strategi intelijen Stick Yard. Namun, ia menilai sudah saatnya Prabowo mulai berbicara secara terbuka, meskipun dengan langkah yang terukur. Salah satu contohnya adalah ketika Presiden mengeluhkan adanya upaya untuk mengadu domba dirinya dengan Jokowi. Menurut John, tuduhan semacam itu tidak masuk akal bagi orang yang berpikir jernih.
"Kita harus tetap menghormati presiden sebelumnya, karena bagaimanapun juga, setiap pemimpin memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada alasan untuk menciptakan permusuhan yang sebenarnya tidak pernah ada," tegasnya.
Pengurangan ASN Tidak Ada
John juga mengungkapkan keheranannya terhadap pernyataan keliru dari salah satu pembantu presiden yang mengklaim bahwa pengurangan anggaran berdampak pada pengurangan tenaga kerja. "Sejak kapan mereka memiliki tenaga kerja sendiri? Yang ada adalah ASN yang berada di bawah kepemimpinan mereka. Bagaimana mungkin bisa mengurangi tenaga kerja, sementara pemangkasan anggaran ini sama sekali tidak menyentuh gaji ASN?" ujarnya.
Menurut John, pernyataan semacam ini tidak hanya menyesatkan tetapi juga dapat dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap kebijakan presiden. Ia menegaskan bahwa langkah pengurangan anggaran ini justru menjadi instrumen yang baik untuk mengidentifikasi siapa saja menteri yang tidak loyal terhadap presiden. "Saya percaya, melalui kebijakan ini, akan terlihat siapa saja pembantu presiden yang benar-benar setia dan siapa yang justru membangkang," tambahnya.
Selain itu, John juga memandang banyaknya pihak yang hanya pandai berbicara, baik dari partai politik maupun kelompok lainnya, yang selalu membela kepentingan partainya di atas segalanya. Ia menegaskan bahwa ketika seseorang telah disumpah menjadi pembantu presiden, maka loyalitasnya harus sepenuhnya tegak lurus kepada presiden, bukan kepada partai politik yang menaunginya.
"Saya juga meminta orang-orang yang pernah keluar masuk penjara, jangan terlalu banyak ngomong di televisi seperti pintar sendiri seharusnya diam saja dulu, rusak negara ini kalau orang sudah curi uang negara keluar masuk penjara mau ngomong lagi seperti orang hebat sendiri kita tercemar dengan pikiran mereka itu," pungkas mantan Dewan Analisis Strategis BIN ini dengan nada meninggi. (David)